Teks: Gedung Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Jakarta, BahanaKalteng – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk mengakhiri skema pemilu lima kotak yang selama ini digunakan dalam Pemilu Serentak. Dalam putusan terbarunya, MK menetapkan bahwa mulai tahun 2029, pelaksanaan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah atau lokal harus dipisahkan, mengutip dari hukumonline.com (26/6/2025)
Menurut Mahkamah, pemisahan ini bertujuan untuk menyederhanakan proses bagi pemilih, memperbaiki kualitas demokrasi, serta mengurangi beban berat bagi penyelenggara pemilu dan partai politik yang selama ini menghadapi jadwal pemilu yang sangat padat dalam waktu yang hampir bersamaan. Selain itu, Putusan ini diambil demi menjaga kualitas pemilu, meningkatkan efisiensi penyelenggaraan, serta memberi ruang yang lebih baik bagi pemilih untuk menggunakan hak pilihnya secara cermat dan tidak buru-buru
Putusan ini diambil melalui pengujian UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Pilkada setelah permohonan yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), yang mempertanyakan efektivitas dan konstitusionalitas sistem pemilu serentak yang selama ini berlaku dan diterapkan.
Singkatnya, Mahkamah menyatakan bahwa penyelenggaraan Pemilu yang konstitusional mulai tahun 2029 adalah memisahkan Pemilu Nasional yakni pemilihan anggota DPR, anggota DPD, serta presiden dan wakil presiden dari Pemilu Daerah yang mencakup pemilihan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota, serta gubernur, bupati, dan walikota beserta wakilnya.
Meskipun berbagai model pemilu sebelumnya tetap dianggap konstitusional, pembentukan sistem pemilu ke depan harus menjamin efektivitas dan efisiensi, baik dari sisi teknis penyelenggaraan maupun dari sisi pengalaman pemilih. “Model pemilu lima kotak menyebabkan fokus pemilih terpecah dan waktu untuk mencoblos sangat terbatas, yang pada akhirnya mengurangi kualitas pelaksanaan kedaulatan rakyat,” ujar Hakim Konstitusi Saldi Isra saat membacakan pertimbangan putusan.
Mahkamah menilai penyelenggaraan pemilu legislatif dan eksekutif secara serentak di tingkat pusat dan daerah menyebabkan isu pembangunan daerah sering tenggelan di tengah dominasi isu nasional. Dengan pemisahan jadwal, MK berharap masyarakat bisa lebih fokus pada isu-isu lokal saat Pemilu Daerah dan pada isu nasional saat Pemilu Nasional.
“Pembangunan daerah harus tetap menjadi perhatian utama dan tidak boleh diabaikan karena tertutup oleh sorotan pada isu nasional yang muncul dalam pemilu legislatif dan pemilihan presiden,” jelas Saldi
Dalam pertimbangannya, Mahkamah juga menyatakan pemungutan suara untuk Pemilu Daerah dilaksanakan dalam waktu paling singkat 2 tahun atau paling lama 2 tahun 6 bulan setelah pelantikan Presiden/Wakil Presiden serta anggota DPR dan DPD terpilih. Ketentuan ini memberi ruang cukup bagi masyarakat dan penyelenggara untuk mempersiapkan pelaksanaan Pemilu Daerah secara lebih matang.
Keserentakan pemilu dalam skema saat ini menyebabkan beban kerja yang sangat tinggi bagi penyelenggara pemilu. Padatnya jadwal pemilu dalam satu tahun membuat masa jabatan penyelenggara tidak efisien, karena hanya efektif bekerja penuh selama dua tahun dari lima tahun masa jabatan. Selain itu, jadwal pemilu yang terlalu rapat berdampak pada pelemahan partai politik. Partai tidak memiliki cukup waktu untuk merekrut calon legislatif maupun eksekutif secara ideal.
“Banyak partai terjebak pada strategi elektoral pragmatis dengan mengandalkan popularitas semata, bukan kompetensi atau ideologis partai,” ungkap Hakim Konstitusi Arief Hidayat saat membacakan pertimbangan putusan.
Dalam putusannya, MK pun menyinggung soal masa transisi atau peralihan yang akan terjadi sebagai dampak dari perubahan sistem ini. Masa jabatan kepala daerah yang terpilih dalam Pilkada 2024 dan anggota DPRD (provinsi dan kabupaten/kota) Hasil Pemilu 2024 akan menjadi bagian dari transisi menuju sistem pemisahan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah. (Red2)

